Selasa, 09 Desember 2008

Termodinamika Cinta?

Ada seorang teman, kepada siapa saya menitipkan surga impian.

Teman itu datang saat lelah mendera raga, saat sakit menyiksa jiwa, saat hidup tak lagi menawarkan asa. Serasa tak ada oksigen bisa dihirup dan tak ada dihidrogen oksida yang bisa ditelan. Warna-warni cahaya pada panjang gelombang tertentu yang biasa terlihat indah, untaian not-not yang biasanya terdengar syahdu jadi hilang tak berbekas. Musnah dalam hitungan detik. Hanya karena ada satu leaving group yang hilang, meninggalkan orbital kosong di hati. Membuat saya menjadi karbokation yang tidak stabil. Hidup hanya seperti gerak refleks tanpa bisa dikendalikan.

Berbilang bulan merayap begitu lambat. Tingkat energi merambat naik. Saat itulah sang teman datang. Tersenyum. Santai, seolah hidup begitu mudah, seolah tak ada keputusan penting yang harus diambil.
“Kau yang salah,” simpulnya saat dengan menggebu saya katakan betapa hidup sangat tak seimbang.
Enak saja. Saya tak butuh seorang jaksa, apalagi hakim. Mereka semua tak berguna. Untuk apa bersinergi dengan mereka. Saya lebih suka sendiri dalam ekosistem yang semakin menyempit. Tak peduli pada esok yang tak lagi kuharapkan.

Sang teman datang lagi. Tersenyum. Santai, seolah tak pernah membuat kesalahan dalam suatu reaksi. Kali ini dia membantu menyelesaikan tugas-tugas yang selama ini terbengkalai. Tanpa kata. Tanpa bisa saya tolak. Semua berjalan dalam diam. Walau akhirnya semua tugas terpenuhi, tapi duniaku masih sepi dan gelap.

Kali lain sang teman datang lagi. Tersenyum, tertawa, menawarkan cermin dan lampu pada saya. Berlama-lama saya renungi pemberiannya, bertanya-tanya apa maksudnya. Makin saya pandang, cermin itu semakin jelas, lampu itu memberikan setitik cahaya. Nampaklah semua yang ada di latar belakang. Samar-samar muncul cahaya yang semakin benderang. Menerangi gelapku.

Saat sang teman datang lagi, saya sudah bisa tersenyum. Dan tingkat energipun menurun. Tak terasa, ternyata lone pair elektron yang dia tawarkan sudah membentuk ikatan kovalen. Membentuk kestabilan. Hidup ternyata tak seburuk yang saya bayangkan. Sisa badai ternyata membawa kesejukan. Dan gelappun jadi benderang jika dihadapi dengan senyuman.

Sekarang, teman itu tak pernah pergi lagi. Dialah yang menerangi saat gelap. Memayungi saat hujan. Menyejukkan saat panas. Menawarkan pundak saat kelelahan. Dan mencari restoran saat kelaparan………

Tak terasa, hampir 20 tahun bersamanya. Teman, kepada siapa saya mempercayakan surga. Karena tanpa ridhonya, pintu surga akan tertutup buat saya.

Apakah anda sudah faham, bahwa cinta yang memerlukan energi aktivasi yang tinggi, waktu reaksi yang lama, akan menghasilkan kestabilan yang manstab? Apakah anda setuju bahwa ternyata cinta saya terkontrol secara termodinamika?

Label: ,

0 Komentar:

Posting Komentar

And the answer is..

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda