Rabu, 03 Desember 2008

Mungkin Saatnya?

Aku menekan kepalaku yang terasa pusing. Namaku Mia, sejak kecil kesehatanku memang lemah. Sekarang aku mengidap leukimia. Penyakit yang mengerikan bukan?
Tak jarang aku pergi ke negara-negara tetangga, Singapura atau Malaysia, bukan untuk berlibur-aku tidak punya waktu untuk itu- tapi untuk berobat.
Mungki sepanjang hidup ini aku sudah menelan puluhan atau ratusan-mungkin ribuan- obat dari yang sirup, pil, tablet, kapsul yang beraneka warna dan rasa.
Oleh karena itu aku sering mual dan tak jarang aku muntah. Tapi aku tidak mengeluh. Sebab kata Nana mengeluh hanya membuat tambah sakit. Jadi aku tidak menggerutu ketika aku harus keluar masuk atau gonta ganti rumah sakit.
Oh iya, Nana adalah pengasuh ku. Dia merawat ku sejak Mama meninggal kan ku untuk selama nya ketika aku msih kecil dulu. Dia sudah tua sekali. Mungkin 100 tahun-kata Papa umur Nana 60 tahunan- tapi dari wajah nya masih terlihat bekas bekas kecantikan dikala dia masih muda dulu.
Papa terlalu sibuk dengan pekerjaan nya, aku bahkan lupa terahir kali Papa memakai baju selain setelan jas nya. Tiap hari Papa berangkat sebelum aku bangun dan belum kembali kketika aku beranjak tidur.
Di rumak sebesar ini aku merasa kesepian. Hanya ada aku dan Nana. Mungkn beberapa pelayan, koki atau satpam. Tapi sama saja sih, karena aku juga jarang di rumah. Aku sering menghabis kan waktuku dirumah ke duaku. Rumah sakit.
Sampai SMP ini aku masih belum mencicpi rasa nya masuk sekolah umum. Karena kesehatan ku tidak memungkin kan untuk itu. Walau aku muak terus-terusan home schooling. Gurunya menyebalkan dan membosankan.
Tapi tahun ini berbeda! Aku diperbolehkan bersekolah di SMP negeri biasa! Dengan teman dan guru-guru yang biasa. Aku mendapatkannya dengan susah payah. Setelah teriakan teriakan Papa, teriakanku, berliter-liter air mata Nana, akhirnya papa mengizinkanku.
Besok adalah hari pertamaku di sekolah. Walau aku memang tertinggal mungkin beberapa pelajaran. Tapi aku akan menyesuai kannya.
Kini aku menyiapkan peralatanku sekolah. Tapi.. kepalaku kembali berdenyut sakit. Beberapa helai rambutku mulai berjatuhan. Aku terduduk tanpa sadar. Tapi yang ada dipikiranku hanya satu. Jangan sampai Nana melihatku dalam keadaan seperti ini. Bisa-bisa aku tidak jadi sekolah.
Aku bangun sekali. Karna ini adalah hari yang aku tunggu-tunggu. Aku mengecek ke-100 kalinya. Melihat apa semuanya sudah kubawa. Tapi aku melihat sesuatu yang aneh. Ada benda baru dalam tas ku. Benda yang dibungkus oleh plastik warna hitam. Tanpa kubuka aku sudah tau isi nya.
Bungkusan itu aku buang langsung ke tong sampah. Untuk menjadi anak normal aku tak perl capek-capek minum obat. Aku keluar dari kamar dengan senyum mengembang.
Di meja makan sudah ada segelas susu ekstra besar, roti isi dan obat lagi. Aku menghabis kan setengah gelas susu dan roti isi. Aku memandang obat-obatan yang beraneka warna dan bentuk itu. Kugenggam dan kutelan. Tanpa air dan tanpa ekspresi bahwa aku membencinya. Nana memandangku. Butiran bening menetes dari mata nya. Aku mendekatinya dan memandang Nana. Kuhapus air mata yang tersisa dari matanya. Aku tersenyum.
” Kenapa Nana?”
” Ga ada apa-apa sayang”
” Nana jangan nangis”
Nana tidak menjawab dia tersenyum dan membantuku berdiri mengantarku menuju mobil.

” Halo?” suara Papa di seberang sana.
” Pak, gawat Pak” suara Nana tercekat.
” Kenapa Na?” Papa mulai khawatir.
” Harusnya Mia tidak sekolah. Tadi keterangan dokter datang......”

” Namaku Ramia Survia” kataku agak gugup.
”Panggil aja Mia” lanjutku lagi
”Mia silahkan duduk di sebelah Zival di sebelah sana.
Aku menurut. Saat aku berjalan kepalaku terasa pusing.
”Hai nama ku Zival” kata seseorang di sebelahku.
” Mia” sahutku pendek. Bukan karena aku sombong atau apa. Tapi rasa sakit ini benar-benar menusuk kepalaku.
”Mia kenapa mukamu pucat banget” Zival bertanya heran.
Ya Tuhan benarkah? Aku menunduk. Banyak rambut berjatuhan di mejaku. Kepalaku menjadi sakit. Sakit sekali. Semua menjadi gelap.


Mataku terasa kabur. Lambat laun terasa jelas aku ada di mana sekarang. Ruangan ini terasa akrab dengan mataku. Aku ada di rumah ke duaku. Di rumah sakit.
Di sampingku ada Nana yang tengah menangis. Kenapa Nana menangis ya? Padahal biasanya dia senang kalau aku sudah sadar atau bergerak sedikit saja. Aku bergerak mendekatinya. Mencoba untuk menyentuhnya. Tapi kenapa Nana tak bisa disentuh? Tanganku menembus kulitnya yang keriput.
Dan aku baru sadar. Nana tidak sedang menangisiku. Tapi anak di sebelah sana. Anak yang wajahnya tertutup kain putih di sebelah sana.
Aku tersentak kaget saat menyadari siapa anak itu. Anak itu... adalah aku!! Tidak! Tidak mungkin aku udah mati. Papa datang dengan mata sembab diikuti dokter di belakang nya.
”Apakah tidak ada yang bisa dilakukan untuk Mia”
”Maaf Pak... semua usaha telah kami lakukan namun....”
kata kata dokter tidak aku dengarkan. Nana makin menangis keras.
Ingin aku menghapus butiran air mata di pipi Nana. Tapi lagi lagi aku gagal.
Papa mendekati jasadku
”Sampai kan salam Papa untuk Mama di sana Mia sayang” bisik nya terisak.
Papa...
Tiba-tiba tubuhku terasa terangkat. Aku melayang ke atas, terus hingga menembus atap rumah sakit.
Aku berbisik
”Selamat tinggal Pa.. Nana. Maafkan segala kesalahan Mia”
dan aku ke atas. Entah menuju kemana.
(ditulis oleh anakku FR. Azzizah)

Label:

1 Komentar:

Pada 27 Februari 2009 pukul 04.12 , Anonymous Anonim mengatakan...

woow kereeeeen,....
mana yang lainnya?

 

Posting Komentar

And the answer is..

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda